Adzan Magrib
Sore itu, kala kantor –kantor pemerintahan mulai tertutup
rapat. Aku pun mencari kesibukan sendiri. Banyak hal yang menarik yang bisa
dilakukan di kota ini, seperti menonton
para remaja bermain bola di pinggir jalan pastinya seru. Namun hatiku belum terpikat
pada hal itu. Aku lebih memilih memandangi kegiatan aktifitas masyarakat di
sekitar kota. Bisa saja niat ku berubah ketika berada di atas motor, benar
saja, niat ku mengilingi ibu kota Kabupaten ini musnah sudah, sepertinya
bermain catur di sore hati sangat menantang. Niat ku tulus dan tak ada yang
memaksa, hanya ada satu orang yang bisa menjadi lawan yaitu Agus. Sesampai di rumahnya tepatnya di Kp. Banjar,
aku harus memakan waktu untuk menunggunya karena ia harus menyelesaikan solat
Ashar,
Siapakah Agus, bagiku laki-laki ini tidak asing, aku mengenalnya
pada tahun 2000, ketka itu kami bersamaan memasuki sekolah yang sama, yaitu
Ponpes Ahmadul Jariyah Kotapinang. Ya, saat itu kami berstatus kelas I
tsanawiyah/sederajat. Bersamanya, aku menyelesaikan studi sampai
Aliyah/sederajat juga pada tahun 2006, itu membuktikan bahwa kami mengenyam pendidikan
di Ponpes itu selama enam tahun. 6 tahun bukanlah waktu yang lama, tapi kisah
kami tak kan ada habisnya sampai pulpen ini kehabisan tinta. Setelah lulus
sekolah, aku dan teman-teman termasuk Agus kembali mengambil pulpen masing-masing
untuk menuliskan cerita baru dalam kehidupan baru tentunya dengan teman baru.
Enam tahun kemudian, setelah menyelesaikan studi di tanah
ibu kota, aku kembali ke tanah kelahiran. Menemukan Agus tidak sesulit yang
kubayangkan, cukup parkir di depan rumahnya, secara otomatis ia pun menyambut
dengan hangat. Tak ada perubahan signifikan pada diri Agus, terutama pada
wajahnya, hanya saja dagunnya agak memanjang ke bawah. Dihiasi beberapa lembar
bulu yang disebut dengan kata “jenggot” mencerminkan dirinya bagaikan seorang Ustad.
Bagaimana tidak, sekarang ini ia disibukan dengan sekolah (Madrasah Tsnawiyah) yang
didirikan bersama ayahnya guna ikut andil dalam mencerdaskan bangsa.
Uniknya, semua siswa diasramakan
di dalam rumahnya. Rumahnya yang terbuat dari papan mampu menampung lebih dari
tiga puluh siswa, bukanlah hal yang baru bagi Agus, sebab dulu ia juga
berasramakan yang terbaut dari papan. Keberanian dan kegigihannya patut mendapat
acungan jempol, dengan modal dan fasilitas seadanya, ia mampu memberi harapan
baru untuk generasi bangsa guna menata masa depan yang lebih bermanfaat. yang
menarik panggilannya bukanlah ustad atau kiyai, tetapi dengan sebutan “jek”,
maka secar otomatis lehernya akan menoleh pada lawan bicaranya. Tak ada alasan
nama itu terucap, yang pasti hingga sekarang ia lebih suka dipanggil dengan
nama jek, dan akan membalasnya dengan sebutan yang sama.
Jek, suara itu datang dari belakang. Sambil menyentuh pundak
kiri ku. Ia hadir sedang aku asyik membaca cerita kontroversi Ratu Elizabeth I.
tanpa banyak mukoddimah, si jek langsung membuka papan catur. Sebelum memulai
ada kesekpakatan kecil antara kami guna menyemangati pertandingan. Menang,
adalah tujuan kami berdua, terlebih pada diriku sendiri, sebab aku selalu kalah
dihari-hari sebelumnya. Dalam permainan catur, sok mikir dan benar-benar
berfikir sangat sulit dibedakan dan akhirnya di babak pertama aku kalah. Tapi masih
ada babak kedua untuk membalasnya. Aku mulai berhati-hati dan memperhatikan
langkah untuk menembus pertahanan si jek. Nampaknya ia mulai kewalahan dengan
strategi baruku. Langkah Ratunya MULAI menyempit, mukanya mengkerut, namun
kemenangan belum kudapat, meski waktu magrib sudah dekat. Akhirnya aku mengakui
si jek memang hebat. Aku kalah telak dengan skor menjadi 2-0.
Adzan Magrib telah berlalu, salah seorang dari santri
memanggil si jek untuk menjadi imam para murid. Lalu sijek mengajakku, siapa
yang berani menolak untuk sebuah kebaikan bahkan itu sudah menjadi kewajiban. Aku
memilih shaff paling depan, sedang si jek menjadi imam. Aku sangat bersemangat,
maklum saja, sebab aku merasa kembali menjadi seorang santri yang sedang solat
berjamaah di masjid pesantren belasan tahun lalu. Dalam sholat, aku
memperhatikan lemari-lemari para siswa. Unik, banyak tulisan-tulisan dan
gambar-gambar lucu, ada juga lemari yang memiliki dua gembok, dan dalam
bayanganku tak ada satupun lemari-lemari itu mirip dengan lemariku dulu saat di
pesantren.
Sehabis solat, bacaan zikir yang dipandu si jek diikuti oleh
para siswa dengan semangat, mereka sangat hafal dengan bacaan zikir yang sama
persisnya diajarkan di sekolahku. Aku mengikutinya meski ada beberapa bacaan
yang benar-benar aku tidak mengingatnya. Sungguh aku malu pada diri sendiri. Tapi
bacaan zikir itu membuat hatiku tenang dan setenang-tenangya. Setelah selesai
solat, aku memperhatikan wajah-wajah mereka, dan berharap agar pulpen mereka
tak berhenti menulis sebelum mendapatkan cita-citanya.
No comments:
Post a Comment