Pages

Friday 16 January 2015

Adzan Magrib


Sore itu, kala kantor –kantor pemerintahan mulai tertutup rapat. Aku pun mencari kesibukan sendiri. Banyak hal yang menarik yang bisa dilakukan  di kota ini, seperti menonton para remaja bermain bola di pinggir jalan pastinya seru. Namun hatiku belum terpikat pada hal itu. Aku lebih memilih memandangi kegiatan aktifitas masyarakat di sekitar kota. Bisa saja niat ku berubah ketika berada di atas motor, benar saja, niat ku mengilingi ibu kota Kabupaten ini musnah sudah, sepertinya bermain catur di sore hati sangat menantang. Niat ku tulus dan tak ada yang memaksa, hanya ada satu orang yang bisa menjadi lawan yaitu Agus.  Sesampai di rumahnya tepatnya di Kp. Banjar, aku harus memakan waktu untuk menunggunya karena ia harus menyelesaikan solat Ashar,

Siapakah Agus, bagiku laki-laki ini tidak asing, aku mengenalnya pada tahun 2000, ketka itu kami bersamaan memasuki sekolah yang sama, yaitu Ponpes Ahmadul Jariyah Kotapinang. Ya, saat itu kami berstatus kelas I tsanawiyah/sederajat. Bersamanya, aku menyelesaikan studi sampai Aliyah/sederajat juga pada tahun 2006, itu membuktikan bahwa kami mengenyam pendidikan di Ponpes itu selama enam tahun. 6 tahun bukanlah waktu yang lama, tapi kisah kami tak kan ada habisnya sampai pulpen ini kehabisan tinta. Setelah lulus sekolah, aku dan teman-teman termasuk Agus kembali mengambil pulpen masing-masing untuk menuliskan cerita baru dalam kehidupan baru tentunya dengan teman baru.

Enam tahun kemudian, setelah menyelesaikan studi di tanah ibu kota, aku kembali ke tanah kelahiran. Menemukan Agus tidak sesulit yang kubayangkan, cukup parkir di depan rumahnya, secara otomatis ia pun menyambut dengan hangat. Tak ada perubahan signifikan pada diri Agus, terutama pada wajahnya, hanya saja dagunnya agak memanjang ke bawah. Dihiasi beberapa lembar bulu yang disebut dengan kata “jenggot” mencerminkan dirinya bagaikan seorang Ustad. Bagaimana tidak, sekarang ini ia disibukan dengan sekolah (Madrasah Tsnawiyah) yang didirikan bersama ayahnya guna ikut andil dalam mencerdaskan bangsa.

Uniknya, semua siswa  diasramakan di dalam rumahnya. Rumahnya yang terbuat dari papan mampu menampung lebih dari tiga puluh siswa, bukanlah hal yang baru bagi Agus, sebab dulu ia juga berasramakan yang terbaut dari papan. Keberanian dan kegigihannya patut mendapat acungan jempol, dengan modal dan fasilitas seadanya, ia mampu memberi harapan baru untuk generasi bangsa guna menata masa depan yang lebih bermanfaat. yang menarik panggilannya bukanlah ustad atau kiyai, tetapi dengan sebutan “jek”, maka secar otomatis lehernya akan menoleh pada lawan bicaranya. Tak ada alasan nama itu terucap, yang pasti hingga sekarang ia lebih suka dipanggil dengan nama jek, dan akan membalasnya dengan sebutan yang sama.  

Jek, suara itu datang dari belakang. Sambil menyentuh pundak kiri ku. Ia hadir sedang aku asyik membaca cerita kontroversi Ratu Elizabeth I. tanpa banyak mukoddimah, si jek langsung membuka papan catur. Sebelum memulai ada kesekpakatan kecil antara kami guna menyemangati pertandingan. Menang, adalah tujuan kami berdua, terlebih pada diriku sendiri, sebab aku selalu kalah dihari-hari sebelumnya. Dalam permainan catur, sok mikir dan benar-benar berfikir sangat sulit dibedakan dan akhirnya di babak pertama aku kalah. Tapi masih ada babak kedua untuk membalasnya. Aku mulai berhati-hati dan memperhatikan langkah untuk menembus pertahanan si jek. Nampaknya ia mulai kewalahan dengan strategi baruku. Langkah Ratunya MULAI menyempit, mukanya mengkerut, namun kemenangan belum kudapat, meski waktu magrib sudah dekat. Akhirnya aku mengakui si jek memang hebat. Aku kalah telak dengan skor menjadi 2-0.

Adzan Magrib telah berlalu, salah seorang dari santri memanggil si jek untuk menjadi imam para murid. Lalu sijek mengajakku, siapa yang berani menolak untuk sebuah kebaikan bahkan itu sudah menjadi kewajiban. Aku memilih shaff paling depan, sedang si jek menjadi imam. Aku sangat bersemangat, maklum saja, sebab aku merasa kembali menjadi seorang santri yang sedang solat berjamaah di masjid pesantren belasan tahun lalu. Dalam sholat, aku memperhatikan lemari-lemari para siswa. Unik, banyak tulisan-tulisan dan gambar-gambar lucu, ada juga lemari yang memiliki dua gembok, dan dalam bayanganku tak ada satupun lemari-lemari itu mirip dengan lemariku dulu saat di pesantren.


Sehabis solat, bacaan zikir yang dipandu si jek diikuti oleh para siswa dengan semangat, mereka sangat hafal dengan bacaan zikir yang sama persisnya diajarkan di sekolahku. Aku mengikutinya meski ada beberapa bacaan yang benar-benar aku tidak mengingatnya. Sungguh aku malu pada diri sendiri. Tapi bacaan zikir itu membuat hatiku tenang dan setenang-tenangya. Setelah selesai solat, aku memperhatikan wajah-wajah mereka, dan berharap agar pulpen mereka tak berhenti menulis sebelum mendapatkan cita-citanya. 

No comments:

Post a Comment

 

Blogger news

Blogroll

About