Pages

Thursday 8 January 2015

HILANG

Lama sekali kabarnya tak terdengar, hampir 20 tahun kami telah berpisah, pertemuan kami terakhir sewaktu mengambil ijazah SMA di sekolah yang bertepatan di sebrang Masjid. Pada tahun 1993 tepat pada tanggal 27 November, ketika itu tak banyak yang kami ucapkan meski banyak kisah yang kami perbuat, hanya kalimat “selamat tinggal kawan” yang terucap darinya dan langsung pergi tanpa menoleh kebelakang lagi. Ingatanku padanya tak beralasan sama sekali. Tiba-tiba saja namanya terlintas saat aku sedang nongkrong di dalam toilet. Pastinya itu sangat menggangu konsentrasiku.

Hari ini memang aku tak bersemangat untuk melakukan aktifitas keseharianku, meski baru saja menerima gaji dari perusahaan yang berdiri dari tahun 1995 itu. Bagaimana tidak, aku harus sarapan pagi tanpa ditemani siapa pun. Sang istri terimut berani-beraninya meninggalkan pekerjaanya sebagai  ibu rumah tangga selama tiga hari dikarenakan tak kuasa menolak instruksi dari atasan untuk mengikuti seminar dan pelatihan tentang lingkungan hidup di Kota Bali.

Sungguh hambar, bukan karena rasa masakannya tak sedap. Soal rasa, ibuku memang ahlinya dalam hal masak - memasak, menurut informasi dari ayah kalau ibu suka sekali bermain masak-masakan diwaktu kecil. Tapi memang ketidakhadiran sang istri di meja makan mempengaruhi turunnya semangat kerjaku. Wajar saja, ini adalah kali pertama aku sarapan sendiri selama pernikahan ini berlangsung. Belum lagi rasa cemburu masih tersisa saat aku melihat ia dijemput oleh bosnya. Aku menggelengkan kepala seraya menyadari bahwa aku terlalu berburuk sangka pada istri yang pernah bilang “aku cinta kau bertubi-tubi”.

Setelah mengecup kening bayiku yang masih terlelap, aku berangkat lebih dari dibanding hari-hari lain, sebab kemacetan di hari Senin tak bisa dihindarkan dan mungkin tak kan terobati. Aku pun memilih berangkat ketika matahari belum menyapa makhluk Tuhan. Meski berangkat di awal waktu, jalan raya tak kesepian pengunjung. Silih berganti mobil dan kendaraan lainnya mengotori udara pagi itu dan menembus embun pagi dengan kecepatan yang cukup cepat.  Seperti biasanya, selalu ada saja barang/titipan yang lupa dibawa kekantor, tapi bukankah kata alasan diciptakan untuk menepis segala hal.

Termasuk saya sendiri, kecepatanku bukan karena mengejar waktu masuk kantor, bukan juga karena kegemaranku menonton kejuaraan balap moto GP dan memfavoritkan Dani Pedrosa yang telah bergabung di kejuaraan Moto GP pada tahun 2006. Tapi karena kesempatan untuk melaju di ibu kota ini sangat jarang didapatkan. Naluri pebalap di masa muda mencuat kembali, di dalam perjalanan, aku tak sempat memerhatikan kegiatan warga sekitar, teriakan para kondektur metro mini tak kuhiraukan, aku memang menjadi orang sombong pagi itu.

Tiba-tiba saja aku lupa kalau di depan ada lobang besar bekas galian dari seminggu lalu, aku panik dan sepanik-paniknya, berusaha menghindar malah kehilangan keseimbangan, motorku bergoyang-goyang mencari mangsa. Akhirnya aku menabrak sebuah rumah makan mini. suara jeritan seorang perempuan seraya meminta pertolongan jelas terdengar, lagi-lagi ia menjerit sekeras-kerasnya, aku ingin bangkit tapi aku tak kuasa. Berisik, semakin lama semakin banyak pula suara-suara tak jelas mengganggu pendengaranku dan aku tak dapat melihat seorang pun di sekeliling kecuali bayi kecilku yang sedang digendong oleh neneknya.

Benda itu Berkali-kali menempel di bibirku, aku menikmatinya karena aku membutuhkannya dan aku memintanya lagi dan lagi, lidah ku basah dan terus membasahi tenggorokan. Perlahan-lahan aku melirik apa yang terjadi. Ternyata sebuah sendok putih mungil beserta isinya menghampiriku lagi dengan suara ajakan untuk meminumnya. Aku pun langsung menoleh kearah suara tersebut. Seorang wanita asing dengan senyuman kecil sedang menyulangi diriku yang malang.

Sambil merapihkan selimut, wanita itu memperingatkan agar aku tetap beristrahat. Tanpa menunggu jawaban dariku ia pun pergi begitu saja. Bingung, aku mulai memperhatikan sekitar, banyak sekali poto-poto terpajang rapih di dinding, dan tepat di depanku ada sebuah jam besar. Jarum panjang menunjuk kearah angka sepuluh dan jarum pendeknya tak bergerak sama sekali. Itu pertanda bahwa jam dinding nya sedang berbohong.

Aku memastikan waktu sebenarnya dan merogoh kantong celana tempat biasa aku menaruh telepon seluler. Namun aku tak menemukannya serta dompet juga tidak pada tempatnya. Celana yang aku pakai sekarang bukanlah celana yang kukenakan sewaktu berangkat kerja, tapi berubah menjadi seragam berwarna yang aku benci yaitu warna pink. Siapakah yang berani mengganti pakaianku, mbak yang tadi pasti yang punya kerjaan. Tak terbayangkan jika ia memang benar melakukannya, pikirku.

Rasanya tak perlu repot-repot mengejar mbak tadi, ia kembali datang dengan membawa piring berisikan nasi putih beserta lauk nya dan ditangan kirinya ada segelas air putih bening.  Aku menyambutnya dengan ribu pertanyaan, satu persatu aku mengabsen barang milikku. aku dimana, tas ku mana, baju-bajuku, helm, motor, sepatu,  kaos kaki, jam tangan, Hp, dan siapa yang menggantikan pakaian dalamku?

Ayo makan siang dulu Pak, jawabnya singkat

Ya sudah, biar aku makan sendiri, gak usah disuapin lagi kayak yang tadi, tapi terimakasih ya mba sepertinya lauknya enak ni.

Nama saya fani pak,

Sambil merapihkan sisa minuman tadi, ia menceritakan segala kejadian yang terjadi menimpa diriku hingga sampai terbaring di ruangan VIP ini. sambil berdiri ia menunjukkan semua barang-barang perlengkapan kerjaku. aku menyimaknya dengan seksama, tak satu huruf pun terlewatkan setiap kata-kata yang keluar darinya. Selain itu, ia juga menjelaskan ikatan keluarganya pada perempuan pemilik warung yang mengalami kerusakan setelah aku menabraknya.  Akhirnya aku sadar bahwa aku sedang dirawat oleh bidan yang baik hati.

Tak segan-segan ia menuntunku ke kamar mandi. Tangannya menempel erat di sebelah kanan.  Rasa nyeri di kaki kanan masih terasa sakit.  Aku tak mengerti dengan keadaan, sesekali aku memperhatikan wajah gadis itu, dan sesekali kami saling berpandangan. Tak hanya itu ia pandai mencairkan suasana, cerita kehidupannya menjadi santapan baru di siang hari itu. Sampai-sampai cerita masa lalunya ia beberkan mulai dari sekolah SMA yang sama dengan sekolah ku, memang suatu kebetulan, tapi aku tak mengenalnya, sama sekali tak mengenalnya, sebab ia lebih muda tiga tahun.

Jalal? Sepertinya nama suami mu tak asing bagiku,
Oooh, ternyata kamu istrinya si Jalal,
Perkenalkan saya Kamor dan saya adalah teman akrabnya, kita dulu sering menghabiskan waktu di dalam kamar mandi dengan sebatang rokok bergantian, lanjutku

Fani tersenyum kecil, saya tau ko, mas Jalal juga cerita kalau dulu ada temannya menangis karena bara api rokok terjatuh dan membakar celananya.

 Itu aku Fan sewaktu kelas tiga, hahhaha
Dia teman yang baik dan nilai rapotnya tak pernah dibawahku, meski tidak menjadi juara umum tapi dia terkenal dengan puisi-puisinya yang ditempel di mading sekolah, dan satu lalu lagi, ia adalah jagonya dalam hal merayu kaum hawa. Pantas saja ia mendapatkan gadis cantik seperti kamu Fan.
O ya, Jalal dimana? Baru tadi pagi aku mengingatnya.

Dia tidak disini Mas, dan tak kan pernah kesini lagi. Jawan Fani 

Lah ko begitu? tanyaku penasaran

Dia meninggal setahun yang lalu akibat keseringan minum obat terlarang. Jelasnya singkat
Maksudnya, Narkoba ?

Betul Mas, sekarang lihatlah aku terpuruk di rumah ini bersama mertuaku, aku menjaganya bak ibuku sendiri. Yang kami punya hanyalah klinik ini, sisanya habis untuk penyembuhan mas Jalal waktu itu, tapi apa yang terjadi, nyawanya tak terselamatkan bersamaan dengan hilangnya semua harta yang dimiliki ibunya. Klinik ini adalah jelmaan dari perhiasaan ibunya yang dijual untuk aku kembangkan demi menyambung hidup. Alhamdulillah mertua sudah mulai lapang dada menerima kehilangan anak bungsunya itu.
Aku tak menyangka kalau ia salah satu penikmat barang haram itu. Maafkan aku telah membuka kembali rasa duka. Semoga ia tenang disana, dan merestui keputusanmu untuk mencari penggantinya.

Sekejap saja ruangan itu hening, apakah kata-kataku tak indah baginya.

Tapi aku harus pulang fan, sambungku. Bayi kecilku pasti menunggu lagu nina bobo dariku. Aku sangat berterimakasih atas segala sesuatunya. Terimalah ini, semoga dapat membantu.

Aku tak bisa menerimanya mas, sebab jumlahnya terlalu banyak, sahut Fani

Tak apalah simpanlah sisanya untuk keperluan lain,

Aku pamit. Sekali lagi terimakasih atas kebaikan hati. O ya, kalau saya boleh saran, Mintalah izin pada mertua untuk mencari pengganti Jalal, sebab sendiri itu tidak baik, kau juga punya hak untuk bahagia. Kalau mau berkonsultasi, silakan berkunjung kerumah, tidak jauh ko dari sini, di Jl. Merdeka No. 08. 

No comments:

Post a Comment

 

Blogger news

Blogroll

About