Pages

Friday 23 March 2012

kegagalan memahami pluralisme


Oleh: Adnan Rasyid

Pluralisme merupakan konsep hidup yang hingga kini masih sering diperdebatkan oleh khalayak ramai, terutama oleh kalangan penguasa di pemerintahan maupun para tokoh agama. Pihak pemerintah masih bersikap inkonsisten terhadap nilai-nilai pluralisme, sebut saja SKB Menteri pada tanggal 9 Juni 2008 tentang pelarangan Jamaah Ahmadiyah yang melanggar pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan, bahwa “hak kemerdekaan pikiran, hati nurani dan hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Sedangkan di pihak tokoh agama sendiri, pluralisme masih dipahami sebagai kebenaran mayoritas. Pada titik inilah, teks agama akan mengalami disfungsi nilai di mana kekuatan mayoritas akan bertindak sewenang-wenang terhadap kelompok minoritas. Dengan demikian, dapat dinilai ternyata pihak penguasa dan para tokoh agama belum bisa memahami makna pluralisme secara tepat dan kontekstual.    
Pluralisme berasal dari 2 (dua) kata yaitu plural dan isme. Plural is used for referring to more than one.[1] Dapat diartikan “jamak atau ragam”, sedangkan isme diartikan dengan “paham atau aliran”. Dari pengertian etimologi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pluralisme berarti aliran atau faham yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman. Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah interaksi sosial antara kelompok yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan saling menghormati antara sesama. 
Pada perkembangannya, pengertian pluralisme mengalami kerancuan makna atau ambiguitas. Di satu sisi, pluralisme dipahami sebagai keberagaman yang bermakna banyak atau lebih dari satu. Pemahaman ini memiliki implikasi bahwa pluralisme adalah keberagamaan pemikiran yang menjunjung tinggi toleransi. Di sisi yang lain, pluralisme dianggap sebagai penggabungan dari 2 agama atau lebih. Dari pemahaman inilah, muncul pengertian bahwa semua agama itu sama, bahkan ada yang mengatakan bahwa semua agama itu bisa disamakan. Inilah awal dari permasalahan para  penganut agama dalam memahami pluralisme sehingga menimbulkan adanya kekerasan, pembunuhan, pengusiran paksa dan diskriminasi di mana-mana.
Kondisi kebebasan beragama di Indonesia

Di Indonesia, secara kasat dapat dilihat bahwa kekerasan mengatasnamakan agama masih sering terjadi. Pelaku kekerasan tersebut adalah kelompok agama yang merasa yang paling benar. Kelompok ini selalu membuat ulah dan meresahkan sebagian masyarakat yang lain. Dampak dari kekerasan tersebut sangat beragam dan bersifat multi-kompleks. Misalnya dampak psikologis bagi penganut agama yang lain adalah mengurangi kekhusyuan beribadah dan hilangnya kebebasan seseorang dalam memilih kepercayaan tertentu.
Secara konstitusional, Indonesia mengakui 6 (enam) agama. Namun, tidak banyak orang yang menanyakan kenapa hanya 6 (enam) agama saja yang diakui oleh pemerintah Indonesia, dan kebanyakan masyarakat hanya merasa senang ketika agamanya terdaftar sebagai agama yang diakui oleh Negara. Namun, tidak sedikit juga orang yang merasakan kesedihan karena mendapatkan perlakuan diskriminatif dari kelompok tertentu dan Negara membiarkan begitu saja, sehingga terjadi pembunuhan. Persoalan pengakuan Negara terhadap keyakinan agama tertentu dan tidak adanya pengakuan bagi keyakinan yang lain, sebenarnya hanya persoalan klaim kebenaran – yang  belum tentu benar – karena hanya berdalih dibalik kebenaran mayoritas.
Bagi penulis, klaim kebenaran (truth claim) itu sah saja, semua agama atau keyakinan tertentu boleh mengatakan bahwa ajaran yang mereka anut adalah benar, asal kebenaran yang mereka percayai itu tidak mempunyai sifat memaksa terhadap agama atau keyakinan yang lain, terlebih kepada kelompok agama atau keyakinan minoritas. Hal ini perlu ditegaskan karena kelompok mayoritas biasanya memiliki kecenderungan kuat untuk melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Kecenderungan kuat ini, secara psikologis ditimbulkan oleh adanya istilah “kebenaran atau paling benar” dari dalam diri para penganut agama atau penganut keyakinan tertentu. istilah “kebenaran atau paling benar” tersebut sebenarnya melahirkan kenangan egoistis dan akan menimbulkan kebencian terhadap agama atau keyakinan yang lain. Dengan demikian untuk menghindari adanya adanya kekerasan atas nama agama atau keyakinan tertentu maka istilah “kebenaran atau paling benar” harus dihilangkan secara perlahan dalam wacana perdebatan pluralisme.
Klaim “kebenaran atau paling benar” biasanya dilakukan melalui praktek syiar kebencian (hate speech). Praktek syiar kebencian ini sebenarnya dilarang oleh perundang-undangan sebagaimana termaktub dalam pasal 156 KUHP.  Di muka umum menyatakan perasaan, kebencian dan penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, golongan ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, dan kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara
Namun, kelihatannya pasal ini tidak berjalan sama sekali, bahkan aparatur Negara terkesan membiarkannya. Praktek syiar kebencian ini sering ditemukan dalam forum-forum kajian, pamflet, dakwah di atas mimbar dan sebagainya.[2] Praktek syiar kebencian ini sebenarnya lebih berbahaya dibanding dengan kekerasan fisik, karena dampaknya bias meluas, misalnya di dunia pendidikan. Terdapat satu kasus, ada seorang guru di Madrasah Tsnawiyah (setingkat SMP) mengatakan di depan ratusan siswa bahwa selain agama Islam itu patut disiksa, dihina, bahkan dibunuh.
Kasus di atas merupakan bentuk syiar kebencian yang telah ditanamkan sejak dari usia dini. Akibatnya, para murid kelak tentu akan terus membenci dan menolak pemikiran agama, selain agama Islam. Di sini lah, jika pemerintah tidak tegas menindak praktek syiar kebencian, maka praktek syiar kebencian tersebut akan terus terjadi dan tentu akan melahirkan korban-korban baru yang tidak berdosa. Teringat jelas bagaimana perlakuan yang dialami oleh para Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Cikeusik Banten?,  Bagaimana polisi setempat tidak langsung melerai atau menangkap para pelaku pembantaian di Cikeusik Banten. Dan inilah potret kebebasan keberagamaan di negeri Indonesia ini.

Responsibilitas Pemerintah

Keseriusan pemerintah masih jauh dari harapan, karena beberapa penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga Hak Asasi Manusia di Indonesia mencatat bahwa pemerintah dalam merespon kasus-kasus kebebebasan beragama ternyata mengambang dan inkonsisten, dan bahkan melakukan pelanggaran, baik itu secara aktif (by commission) atau pun pembiaran (by omission). Indonesia merupakan Negara yang mempunyai komitmen tinggi untuk memperbaiki kehidupan kebebasan keber-agamaan manusia di Indonesia dengan meratifikasi kovenan hak sipil politik melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Bahkan sebelum meratifikasi kovenan tersebut, Indonesia sudah mempunyai undang-undang yang mengatur tentang kebebasan beragama pada pasal Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Dijelaskan secara eksplisit pada pasal 29 tersebut bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
 Secara konstitusi, Indonesia sudah memiliki instrument dan mekanisme berupa perundang-undangan sebagaimana dijelaskan di atas untuk menindak tegas terhadap para pelaku kekerasan atas nama agama atau keyakinan tertentu yang merenggut kebebasan dan nilai suci terhadap agama atau keyakinan yang lain. Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi pancasila sebagai pandangan hidup bersama, dan bukan salah satu diantara agama dan keyakinan tertentu yang ada di Indonesia ini. Dengan demikian, maka pemerintah seharusnya tidak boleh ragu terhadap amanat undang-undang yang ada. Negara juga tidak boleh takut terhadap kaum radikal yang gemar mengeluarkan ancaman untuk membunuh. Namun, pada faktanya pemerintah lebih memilih aman dan mengamini kehendak kaum mayoritas.
Persoalan kekerasan atas nama agama di Indonesia tidak cukup hanya direspon dengan normatifikasi undang-undang semata, melainkan juga harus dengan tindakan yang lebih  implementatif berupa penghukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan penyadaran-penyadaran melalui pendidikan-pendikan alternatif.  Sehingga ke-depan, kedamaian dan kerukunan antar agama dan antar keyakinan dapat tercapai sebagaimana cita-cita luhur para pendiri bangsa yaitu kehidupan bersendikan bhineka tunggal eka.

Fakta- Fakta Pelanggaran terhadap perempuan dalam kebebasan beragama

Ada banyak kasus tindakan pelanggaran atau kekerasan yang di rasakan oleh perempuan ahmadiyah. Pelanggaran-pelanggaran yang dialami oleh perempuan Ahmadiyah merupakan pelanggaran terhadap hak untuk bebas dari kekerasan berbasis jender, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas penghidupan yang layak, dan hak atas kesehatan reproduksi. Berikut adalah contoh kasus kekerasan yang di alami oleh perempuan ahmadiyah beserta non perempuan ahmadiyah.
a.       Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, pada perempuan dan anak Ahmadiyah ditemukan fakta diskriminasi berlapis dalam berbagai bentuk; Pertama, hak perempuan untuk bebas dari kekerasan berbasis jender. Pada saat penyerangan terjadi ancaman dan bahkan perlakuan kekerasan seksual dialami oleh banyak perempuan komunitas Ahmadiyah, sebagaimana terjadi di Desa Sukadan, Cianjur-Jawa Barat, Desa Gegerung-Lombok Barat dan Desa Prapen-Lombok Tengah. Kedua, hak perempuan untuk berkeluarga dan melanjutkan ketururunan. Di Lombok Tengah, pasangan suami istri dianggap berzina ketika melakukan hubungan seksual lantaran perempuan yang dinikahi seorang Ahmadiyah, dan anak yang dilahirkan dicap sebagai anak haram. Ketiga, hak perempuan atas kehidupan yang layak juga tidak terpenuhi. Banyak perempuan Ahmadiyah terpaksa berhenti berjualan karena warga melarang non Ahmadiyah berbelanja barang pada orang Ahmadiyah. Keempat, hak perempuan atas kesehatan reproduksi. Beberapa perempuan Ahmadiyah harus rela kehilangan calon bayinya (keguguran) karena berlari menyelamatkan diri saat terjadi penyerangan.[3]
b.      Sepanjang tahun 2005, terjadi setidaknya 3 kali penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Jawa Barat. Dalam penyerangan tersebut, seorang perempuan yang sedang hamil 9 bulan dan seorang ibu dan anak perempuannya yang bersembunyi di WC mendapat ancaman akan diperkosa oleh kelompok penyerang. Penyerangan juga terjadi di Lombok Barat dan Tengah, seorang perempuan yang sedang hamil 4 bulan keguguran, karena pada saat evakuasi ia menggendong anaknya yang berusia 5 tahun dengan kain yang diikatkan ke perut.[4]
c.       Akibat diskriminasi dari Pemerintah Daerah dan masyarakat, kelompok Ahmadiyah juga harus meninggalkan tempat kediamannya dan berpindah ke wilayah lain yang lebih aman, meskipun tanpa adanya jaminan kesejahteraan dan keberlangsungan hidup. Khusus pengungsi Ahmadiyah NTT, karena minimnya perlindungan bagi mereka, menyebabkan perempuan pengungsi sangat rentan kekerasan di luar komunitasnya. Dua orang perempuan pengungsi mengalami penyerangan seksual dari laki-laki komunitas lokal ketika mereka sedang berbelanja di pasar; korban pertama diancam dipelet jika tidak menurut, sedangkan korban kedua dipeluk dari belakang. Kondisi serupa dihadapi oleh pengungsi Ahmadiyah; seorang ibu diintip saat sedang menggunakan kamar mandi yang ventilasinya rusak dan seorang anak perempuan sempat mengalami percobaan perkosaan oleh pelaku yang masuk dari jendela barak yang tidak bisa dikunci.[5]
d.      Dari pemantauan Komnas Perempuan di lokasi pengungsian komunitas Ahmadiyah di Lombok Tengah, ditemukan pula kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan oleh petugas keamanan di lokasi pengungsian. Pelecehan ini dilakukan ketika korban meminta izin keluar dari lokasi pengungsian. Ketika korban menolak dipanggil ’sayang’, aparat tersebut mengecam korban dan menyebutnya teli (vagina).[6]
e.       Kelompok JAI yang mengungsi juga kehilangan hak politiknya. Bagi kalangan JAI yang mengungsi di Asrama Transito Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, tidak bisa menyalurkan hak suaranya pada Pemilu 2009 karena tidak termasuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kabupaten Lombok, tempat asal mereka. Menurut Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Lombok, hal ini dikarenakan status kependudukan mereka yang tidak jelas.[7] 
f.       Sepanjang 2005 – 2006, Kelompok yang mengatasnamakan Islam menyerang komunitas Ahmadiyah di Jawa Barat, Lombok Barat dan Tengah. Tiga perempuan diancam perkosaan dalam penyerangan di Jawa Barat. Polisi setempat menolak memberikan jaminan keamanan kepada komunitas Ahmadiyah.[8]
g.      Terdapat 1 kasus yang secara spesifik menyasar perempuan di tahun 2008, yaitu pelarangan pemakaian jilbab yang dilakukan oleh manajemen Rumah Sakit Mitra Bekasi. Karyawan yang bernama Wine Dwi Mandela akhirnya diberhentikan dari pekerjaannya karena menolak melepas jilbab. Pihak rumah sakit kemudian menganulir keputusannya dan mempekerjakan kembali Wine, tapi yang bersangkutan saat ini tidak lagi bekerja. Kasus ini merupakan bentuk diskriminasi berdasarkan keyakinan agama dan karena faktor yang bersangkutan adalah perempuan.[9]
h.      Negara, melalui aparatusnya, melakukan 3 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan dalam bentuk  penyeragaman perilaku keagamaan. Pada 23 Februari 2009 Kapolda Jatim Brigjen. Pol. Anton Bachrul Alam membuat sebuah kebijakan untuk semua anggotanya agar menjalankan shalat lima waktu dan mengaji al-quran hingga khatam 30 juz. Pada 4 Maret 2009 Kapolda Jatim Brigjen. Pol. Anton Bachrul Alam juga mengeluarkan kebijakan agar Polwan di wilayah Jawa Timur menggunakan jilbab. Meskipun tidak dengan pemaksaan, penyeragaman perilaku keagamaan ini telah melanggar jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan para polisi wanita. Anton juga mengatakan “ini kan mengajak ke jalan yang benar. Dengan memakai jilbab, berarti menutup aurat seorang wanita. Tapi ini bukan paksaan, terserah dengan keputusan mereka”. Pada 1 Agustus 2009 Kasat Lantas Polres Surabaya Timur mengatakan ”Kami ingin momentum peringatan ulang tahun Polwan tahun ini lebih bermakna dengan membagikan jilbab ke buruh pabrik". Kebijakan membagikan jilbab pada Hari Ulang Tahun Polwan, di samping menyeragamkan perilaku polwan, Polres Surabaya Timur juga menggunakan perempuan dan polwan sebagai alat politisasi memupuk simpati publik. Politisasi identitas yang merugikan korban adalah tidak dibenarkan.[10]
i.        Pada Laporan Tahunan SETARA Institute 2007, laporan ini mencatat, di bidang legislasi, bias tafsir konstitusional juga telah melahirkan UU No. 42/ 2008 tentang Pornografi yang meletakkan perempuan sebagai obyek kriminalisasi dan merampas kebebasan sipil warga negara. Di tingkat daerah, terkait dengan peraturan daerah yang diskriminatif, baik peraturan daerah dalam bentuk kriminalisasi perempuan, kontrol tubuh perempuan, dan peraturan daerah yang berlandaskan moralitas dan agama.[11]
j.        Diskriminasi yang di dapatkan oleh mayoritas penghayat dalam pelayanan administrasi lainnya, seperti perkawinan, pemakaman, pendidikan maupun bantuan sosial. Kemudian, menjadi basis stigma masyarakat, karena identitas yang tercantum tidak menunjukkan identitas penghayat, entah kosong atau hanya bertanda (-). Ika kartika sebagai penghayat dari kelurahan cigugur merasa tertekan dan diperlakukan tidak adil, ketika juni 2007 lalu Surat Keputusan pengangkatannya sebagai Pegawai Negeri Sipil dipersulit sebab kolom agama dalam KTP-nya kosong. Pihak aparat memaksa Ika harus mengisi kolom itu dengan salah satu agama. Begtiu juga Susi Suwarsih yang kebetulan bekerja di sebuah yayasan katolik, tanpa persetujuan dia, kolom agama di dalam KTP di isi dengan agama katolik, padahal ia sama sekali bukan penganut agama katolik.[12]  


[1] Oxford Learner’s Pocket Dictionary, Third Edition, (UK: Oxford University Press, 2003) hal. 329
[2] Muhammad Hafiz, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Di Indonesia, artikel di sampaikan dalam forum diskusi di kantor HRWG, tahun 2011. Artikel juga dapat di akses di Membumikan Intoleransi.wrodpress.com
[3] Laporan HRWG, Discrimination, Hostility and Violence Against Ahmadiyyah in Indonesia HRWG tahun 2012, hal. 14
[4] Laporan HRWG, tahun 2012, hal. 15
                [5] Laporan HRWG, tahun 2012, hal. 15 
                [6] Laporan HRWG, tahun 2012, hal. 15 
                [7] Laporan HRWG, tahun 2012, hal. 15 
[8] Laporan HRWG tahun 2012, hal. 30
[9] SETARA Institute, Berpihak Dan Bertindak Intoleran, (Jakarta: 2009) Hal. 50
[10] SETARA Institute, Negara Harus Bersikap, 2010, Hal, 56
[11] SETARA Institute, Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia 2008, Hal. 56
[12] Susanto, Trisno. Dkk, Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (Jakarta: HRWG, 2011) hal. 15 – 16

No comments:

Post a Comment

 

Blogger news

Blogroll

About