Pages

Thursday 9 August 2012

KESEPIAN DI TUBAN (bagian19)



Setelah peperangan itu, tuban menjdai sepi, sunyi dan senyapm tidak banyak aktivitas di pelabuhan, kapal-kapal yang berlayar pun tak kunjung keliatan. Kapal milik tuban pun hanya di ikat begitu saja tanpa pengawalan yang ketat, sebab kapal itu juga sudah tidak berfungsi lagi semestinya, jika seandainya kapal peranaggi datang dan melemparkan meriamnya pelabuhan tuban akan menjadi bubur tanpa perlawanan, prajurit kappal juga tak bisa berbuat apa-apa mengingat kapal yang mereka miliki sudah lumpuh.  Lain lagi halnya para janda tua yang menjdi pelacur juga meninggalkan gubuk-gubuk mereka yang ada di pinggir pelabuhan seakan rejeki tidak sudi lagi dataang ke Bandar ini.

Begitu juga daratan, suara angin berlalu begitu saja, tidak ada kesegaran di sana, mayat sang senapati yang di bunuh wira pun masih terkapar di bawah pohon itu, tidak ada yang berani mengurusnya, bahkan kerabatnya sendiri, mayat itu mengeluarkan bau yang sangat, hewan-hewan berterbangan mengelilingi tubuh malang itu. para masyakat pun rela melewati jalan belakang dibanding melewati mayat ini.

Hal yang sama dirasakan oleh kadipaten, sang adipati duduk termenung, mengingat-ingat kejadian yang telah terjadi, mencoba membuka teka-teki kehidupan kadipaten, ia tahu bahwa senapati di bunuh wira dibawah pohon, tapi tidak ada penghadap yang berani melerainya bahkan mengikuti perintahnya. Pikiran lain bahwa ia merasa dirinya tidak ada arti kekuasaan lagi, masyarkat sudah merantau ke tempat yang mereka ingini, begitu juga prajuritnya, sebagian diungsikan oleh wira ke gresik, tidak ada lagi keramaian di sampingya, tidak ada lagi yang melayani nya, persembahan dari desa pun sudah tidak ada lagi hingga bencama kelaparan akan menyiksanya, seakan ia tidak mampu berbuat apa-apa hanya tuan syahbandar tuban yang menemaninya di kadipaten,

Syahbandar tuban masih saja memengaruhi sang adipati agar adipati mengambil tindakan atas sikap yagn dilakukan oleh wira terhadap senapati, seharusnya ia mendapatkan hukuman yang setimpal, sang adipati  pun termenung, kl seandainya wira menjadi penghianat maka ia akan mati sebagai seorang ksatria, dan ia juga akan mengikuti langkah Gajah Mada dan Ken Arok, yaitu orang desa yang bisa menjadi raja salah satu kerajaan, mereka sama sekali bukan keturunan nigrat, tapi mereka bisa, dan apakah wira akan menjadi seperti mereka berdua? . itu hanya pertanyaan kehawatiran saja. Langsung ia mendebat tuan syahbandar tuban bahwa bukan dikarenakan para penghadap diamasuki setan sehingga mereka tidak bisa melawan wira, tetapi dalam roh wira ini sudah di bekali oleh para dewa.

Kadipaten itu pun sepi setelah perdebatan itu usai, masyarakat yang sering meliat tentara yang tidak memakai baju ke prajuritan yang lengkap meondar-mandir di daratan,

Di kesahbandaran bahkan lebih sepi lagi, sudah tidak banyak lagi yang melompati pagar untuk mengintip keindahan tubuh idayu (isteri wira) sebab idayu pun pulang bersama nyi gede kati, masyrakatpun mendoakan keselamatan anak ketika lahir dan bertepatan dengan kematian ayahnya, entah kenapa mereka sekarang menjadi musuh wira, kematian senapati tidak harus di tangan wira, kematian senapati tidak harus di tikam oleh wira, kenapa wira yang harus membunuh senapati. Memori mereka pun kembali tentang kebahagiaan wira dan idayu ketika mereka berdua digotong masyarakat pada hari pernikahan itu.

Kemudian Bandar menjadi sepi lagi.....

No comments:

Post a Comment

 

Blogger news

Blogroll

About