Sepucuk surat
yang diberikan ki Aji Benggala kepada Wiranggaleng (syahbandar muda Tuban)
adalah surat balasan dari syahbandar Tuban Tuan Tholib Sungkar Az-zubaid. Surat
tersebut langsung dihadirkan kepada sang adipati Tuban, kemudian Wira
diperintahkan untuk mencari penerjemah sebab surat tersebut bertuliskan B. Arab
(salah satu bahasa yang tidak dimengerti oleh adipati Tuban). Sepertinya surat
itu mengandung arti yang misterius, buktinya 3 penerjemah yang dipanggil ke kerajaan
tidak dapat menerjemahkannya dan mereka gugup ketika membaca akhir kalimat
surat itu. Dengan kekecewaan dan penasaran yang tinggi sang adipati kembali
memerintahkan Wira untuk mendapatkan makna dari surat tersebut, akhirnya Wira
berangkat menuju Gresik meski ia belum melepaskan rindu bersama istrinya.
Sesampainya di Gresik,
Wira bertanya-tanya kenapa Gresik tidak memeliki angkatan laut? Tapi Gresik
lebih ramai dibanding Bandar Tuban. Wira pun kaget karena warga sekitar
melihatnya dengan tatapan yang beda, suasana yang tidak enak itu dimengerti
oleh Wira bahwa ia memiliki rambut panjang yang selalu dianggap kafir. kemudian
ia berniat memotong rambutnya, namun niat saja tidak cukup tak seorang pun yang
mau mencukur rambut galeng karena yang memotong rambut orang kafir (baik
dicukur maupun yang mencukur) akan mendapatkan kutukan. Disisi lain, sebelum
mencukur rambut harus membawa saksi dan
keluarga yang menyatakan kerelaan akan pemotongan rambut, namun jika keluarga
menolak, barulah diperbolehkan membawa teman-teman sebagai saksi, ditambah
dengan ayam jantan putih, beras tujuh tempurung dan tiga depa bahan pakaian
putih.
Syarat tersebut
sesungguhnya Wira tidak memilikinya namun laki-laki dewasa memotong rambutnya
dengan syarat menirukan kata-kata (syahadat) dari pemangkas itu. Wirapun
mengikutinya, setelah rambutnya pendek, ia diberi nama salasa karena
kedatangannya hari ketiga. Kemudian Wira mengatakan niat kedatangannya, laki-laki
itu langsung membawa Wira kepada Kiai pesantren, sesekali kiai tersebut agak
tegang, gugup seraya berkata “kau belum patut mengetahuinya nak, biar aku
simpan. Surat ini terlalu bahaya dipegang oleh orang seperti kau”, Wira yang
merasa bahwa surat itu adalah miliknya langsung melompat dan merebut surat itu
sehingga Bapak Kiai memekik kesakitan, seketika itu Wira melarikan diri dan
mencari pesantren lain.
Dalam perjalanan,
hatinya bergejolak apakah dia sudah
benar-benar masuk islam atau tidak. Kemudian di hari yang sama Wira menemukan
pesantren yang lebih kecil dari sebelumnya, kali ini ia lebih banyak mendengar
dan melihat, dalam kesehariannya ia mengerjawakan sawah di pagi dan sore hari
dan belajar membaca di malam hari. Di hari-harinya yang sibuk ia menemukan
murid terpandai disekolah itu (Danu), Wira mengakrabinya dan Wira meminta
tolong agar suratnya di terjemahkan.
“Ini surat biasa,
meminta paling tidak 2 meriam Peranggi, kalau tidak ….” Danu tidak meneruskan.
Kalu tidak kenapa
kang? Tanya Wira
Kau ini
sebenarnya siapa? Kau jangan bohong, saya akan bawa surat ini ke Bapak Kiai.
Seketika itu Wira
langsung merampas suratnya dari tangan Danu, dan Danu merasakan lengan
tangannya patah, namun Wira langsung lari menyelamatkan diri sambil meminta
maaf kepada Danu.
Setelah
mendapatkan makna surat tersebut, Wira langsung pulang dan menghadap adipati, Wira
meneruskan maksud dari surat tersebut. Wajah dan kening sang adipati langsung
berkerut mengetahui bahaya akan datang. Silahkan menghadap syahbandar Tuban Wira,
Ujar adipati. Syahbandar Tuban marah karena ia merasa bahwa surat itu sudah
dibaca oleh beberapa orang, namun Wira menepisnya, syahbandar terus bertanya,
lagi-lagi Wira mengelak, hingga pada akhirnya syahbandar luluh dan mengganti
topik pembicaraan.
Wira
diperbolehkan pergi, dan menemui istrinya (idayu), tidak biasanya ia disambut
dengan cundrik dipundak.
Kau sudah berubah
kang, kau sudah masuk islam? tentukah aku harus bersiap-siap akan perubahanmu?
Berdirilah tidak
baik seorang perempuan memegang cundrik, Wira memeluk istrinya, idayupun
membalas pelukan suaminya dengan air mata.
Gresik
Gresik adalah
Bandar terbesar di pulau jawa, sebagian besar remapah-rempah Maluku berdatangan
ke Gresik sebelum Portugis menduduki Malaka. Selama 300 tahun Gresik tidak
memiliki tuan. Sampai pada awal abad 10 Sri Baginda Teguh Darmawangsa
menjadikan pelabuhan ini menjadi pangkalan angkatan laut kerajaan Daha. Kemudian
pada abad ke-11 bandar ini mendapat prasasti dari Sri Baginda Erlangga hingga
menjadi pelabuhan dagang antara Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi serta
mengirim angkatan Majapahit ke daratan Asia dan Afrika.
Setelah Majapahit
jatuh (1478 Masehi), Gresik lagi-lagi tidak mempunyai tuan lagi namun
perdagangan tetap berjalan seperti biasanya, sehingga menjadi Bandar rebutan
dari kekuatan-keuatan yang ada. Akhirnya, Raja Blambangan Hindu (bawahan Giri
Dhanapura) menguasai Gresik sejak tahun 1485.
No comments:
Post a Comment