Pages

Monday 25 August 2014

#catatankeciltouringkesibolga

BARUS + PANTAI KEDAITIGA + PANTAI KAHONA

Dingin memang dingin, niat untuk mandi sempat tertunda akibatnya, namun bau badan yang menempal dari tadi malam terus mengganggu gerak tubuh. Kini giliranku tiba setelah mengantri yang cukup lama, dengan bebarapa alat mandi yang terbatas aku pun bergegas memasuki kamar mandi tersebut. Setelah mandi, badan pun terasa enteng. Mungkin karena airnya langsung terjun dari pegunungan atau mungkin saja karena daki yang menempel di badan sudah hilang.

Waktu menunjukkan setengah delapan pagi, hujan gerimis di luar rumah terus menghalangi perjalanan kami, rasa kecewa pasti ada, sepertinya kota sibolga enggan dinikmati oleh kami. Yang bisa dilakukan adalah duduk manis di dalam rumah sambil mendengarkan cerita menarik dari sang tuan rumah. Sang tuan rumah, dalam hal memehuhi kebutuhan sehari-hari anak dan isteri, ia harus melakukan perjalanan sekitar 6 jam perjalanan menuju tempat dimana ia berbisnis. Karena sudah menjadi kebiasaan sehingga ia merasa bahwa perjalanan selama itu dianggap enteng. Badannya tegap namun tidak terlalu tinggi, sambil mengisap rokok favoritnya ia menyambung ceritan tentang keramahaan lingkungan sekitar. Masyarakat setempat sangatlah ramah dan terbuka. Masyarkatnya penuh sapa dan canda, tak suka mengusik apalagi merusak. Kemudian, masalah keamanan tak perlu diragukan lagi, buktinya kendaraan kami yang terparkir di halaman rumah sangatlah terjaga.

Gerimis masih saja mengguyur, namun kali ini ia tidak bisa menghalangi rasa lapar kami. Atas petunjuk tuan rumah, kami pun bergegas menuju warung tersebut. Warungnya sederhana, tak banyak pilihan jenis makanan yang tertata di atas meja. Hanya ada satu jenis yaitu Lontong. Jelas saja makanan ini tidak asing bagi kami, dan pastinya dapat mengisi ruang perut yang kosong. Warga sekitar berbondonng-bondong dan rela mengantri bersama kami guna mencicipi masakan lontong sang pemilik warung. Harganya ya sedang-sedang saja. Sekitar Rp60.000 untuk 7 orang, tanpa diskon.

Gerimis berhenti, waktunya untuk pergi, tujuan wisata pertama adalah kota Barus, seperti apakah Barus itu, tanya dalam hati. Rasa penasaran dalam hati menyemangati perjalanan ini. Menurut informasi yang diberikan oleh tuan rumah bahwa menuju kota tersebut memakan waktu sekitar satu jam tigapuluh menit. Setelah meminta izin, kami pun berangkat. Sepanjang jalan ada beberapa hal yang menarik, terutama lampu jalanan yang terbuat dari bambu yang didirikan oleh masyarakat sekitar, bambu itu dihiasi lampu-lampu kecil yang membentuk lingkaran. Pastinya ini sangat membantu untuk para pengguna jalan di malam hari.

Sempat berhenti sejenak, gara-gara hujan deras. Perjalanan kemudian dilanjutkan melalui tengah kota Sibolga, kotanya kecil tapi bersih. Banyak sekali tugu yang menghiasi kota tersebut, tugu ikan mislanya. Tugu lainnya bertuliskan “SAIYO SAKATO” merupakan motto kehidupan bersama di Kota sibolga. Aku melihat teman-teman menikmati perjalanan di pagi cerah itu, beberapa orang mengabadikan kejadian unik sepanjang jalan. Kondisi jalan beraspal mulus, rumah-rumah warga begitu padat. Di sebelah kiri terdapat pantai-pantai kecil dan persawahan padi.

Perjalanan menuju barus tidak semulus yang kami bayangkan, kami berhenti tiba-tiba ketika dua orang pemuda lawan jenis jatuh dari kendaraannya dan masuk ke dalam parit. Warga sekitar mengenal kedua pemuda tersebut dan melarikannya untuk mendapatakn perobatan. Seketika itu pula hujan lagi-lagi mengguyur tanah bumi pertiwi. Untung saja di sebelahnya terdapat warung yang cukup luas untuk menampung kami. Tak sabar menunggu, akhirnya kami pun terus melanjutkan perjalanan. Semuanya basah kuyup terkecuali rambut yang tertutup oleh helm. Perjalanan semakin asyik ketika kami sadar bahwa kami kesasar sejauh satu kilometer.
Sesampainya di tempat. Hujan tetap mengikuti. Ternyata barus adalah tempat pemakaman seorang ulama yang berjasa dalam menyebarkan ajaran agama islam di tanah sumatera. Uniknya untuk mencapai makam tersebut pengunjung harus mendaki hampir satu KM ke atas puncak melalui hampir seribu anak tangga. Setelah membayar yang disebut dengan tiket masuk sebesar dua ribu rupiah per orang, dan kami pun mendaki. Ribuan pengunjung saat itu bersemangat untuk mencapai makam tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah kalangan orang tua, tapi tidak sedikit juga anak muda dan anak-anak bahkan ada juga seorang kakek yang harus dituntun naik keatas.

Memang tidak gampang naik ke atas, ditambah lagi gerimis membuat para pengunjung melepas alas kakinya dan beristrahat ditengah jalan guna mengumpulkan energy dan mengatur nafas. Aku mencoba menghitung anak tangga, tapi sayangnya aku lupa karena kurang fokus, begitu juga dengan teman yang di sampingku. Seorang anak kecil dengan semangat mendahuluiku, akupun mengejarnya dan ternnyata aku tertinggal jauh. Aku pun berhenti dan menemui teman-teman rombongan yang menunggu kedatangan kami. Singkat cerita, akhirnya aku dan teman-teman sampai di makam tersebut.

Orang sekitar mengambil tindakna layaknya penziarah, meski gerimis mereka tetap khusu’ membacakan surah yasin beserta doa-doanya. Begitu padat dan ramai pengunjung diatas, aku pun menyempatkan diri untuk mencari tahu informasi lebih jauh tentang keberadaan makam tersebut. Setelah bertanya ke salah satu pengunjung yang mengaku sudah dua kali berziarah kesini. Aku mendapatkan sedikit kesimpulan, yakni ada tiga hal yang unik atau bisa dikatakan ajaib. Pertama adalah ukuran panjang makam. Katanya “jika kita mengukur makam tersebut, kemudian diukur oleh teman kita, maka hasil ukuran makam tersebut tidak akan sama, misalnya si A mendapat hasil 7 meter sedangkan si B mendapat hasil 8 meter”   (pada saat itu, aku dan teman2 tidak melakukan itu). Kedua adalah tali yang diikat di pohon. Katanya lagi “tali yang diikat di pohon ini artinya adalah ketika permintaan/doa kita telah dikabulkan, kita berjanji akan datang kesini dan menjemput tali ini kembali”. Ketiga adalah sumur. Katanya “ada 2 buah sumur kecil berada di sekitar makam tidak pernah kering, namun sekarang sumurnya sudah kering, ia juga tidak tahu apa penyebabnya”. 

Sebelum meninggalkan makam, aku dan teman-teman menyempatkan berdoa sejenak di depan makam tersebut. Kemudian, mengabadikan momen-momen penting di sekitar makam. Sebab, dari puncak ini akan terlihat pemandangan kota sibolga nan indah. Laut biru yang terbentang menyejukkan hati, hamparan padi menenangkan pikiran, serta pepohonan pegunungan menghilangkan semua lelah di badan. Sesampai di bawah, ternyat ada kegaduhan sedikit antar pemilik proyek parker dan proyek tike masuk, tapi sayangnya kami tidak mengerti betul bahasa mereka dan meninggalkannya.

Hari mulai cerah, lembab di badan mulai meleleh. Tempat wisata selanjutnya adalah pantai kedai tiga, tak jauh dari makam tersebut.  Angin pantai langsung menyambut kedatangan kami. Teman-teman kemudian berlari menghampiri pinggir pantai, begitu banyak ekpresi yang terjadi, sedangkan aku memilih untuk berteriak sekencang-kencangnya, melepaskan kerinduanku terhadap suara ombak dan hangatnya sentuhan angin pantai.  Senang, gembira, itulah yang kami rasakan bersama, tiga diantara kami langsung mencelupkan badannya ke dalam asinnya laut, yg lain asyik berfoto, dan aku sendiri duduk menyendiri di atas perahu yang terdampar di pinggir pantai. Perlahan lahan angin pantai menyentuh lembut wajah ku, terus menerus ia melakukannya sampai pada bagian yang terkecil, hingga badanku terasa berat akibat pelukannya yang erat. Seakan ia tahu banyak hal tentang masalah apa yang sedang aku hadapi, lalu ia membujukku untuk bercerita. Dengan malu aku mengamini permintaannya, sebagai pendengar ia melakukannya dengan tenang sampai akhir cerita. Sebagai penutup aku berbisik tentang perasaanku kepada seseorang dan memohon agar menyampaikannya tanpa mengurangi dan menambahi satu huruf pun, sebab aku tahu ia adalah makhluk tuhan yang Jujur dan Amanah. Mendengar permintaanku, ia pun pergi dengan pesan yang kutitipkan, kami pun meninggalkan pantai kedai tiga.


Pastinya pantai ini akan menjadi tempat yang selalu dirindukan. Terdengar suara adzan magrib kami pun beristirahat sebentar. Kemudian berdiskusi mengenai tempat penginapan malam hari nanti. Kebanyakan dari teman-teman memilih untuk tidur di pinggir pantai. Sesampainya di pantai yang disepakati yaitu pantai Kahona, seorang ibu menawarkan tikar sebagai alas tidur seharga 30.000 ribu/buah, lalu menawarkan makan ikan bakar dengan harga seratus ribu /kilo. Lagi-lagi kami berdiskusi, dan akhirnya kami pun memesannya. Sambil menunggu di atas tikar yang baru saja disewa, kebanyakan dari teman-teman mengambil posisi tidur, namun tidak lama curah hujan memaksa kami untuk bangun guna menghindar darinya. Curah hujan begitu deras, ia tak segan mencium baju serta celana yang bertengger di badan. Namun, semua itu dihiraukan ketika ikan bakar terhidang di depan kami. Tak pikir panjang makhluk malang itu langsung dicubiti oleh penggemarnya. Ajeeeeeb, kata yang pas untuk mewakili semua rasa ikan tersebut atau biasa disebut maknyos bre. Sehabis makan, tidur menjadi pilihan utama. Posisi berbaris menyamping dan berhimpitan tak terelakkan lagi, gerimis tak mau berhenti, Semua teman pasrah diri, menyambut sang mentari esok hari. 

No comments:

Post a Comment

 

Blogger news

Blogroll

About