BARUS + PANTAI KEDAITIGA + PANTAI KAHONA
Dingin memang dingin, niat untuk
mandi sempat tertunda akibatnya, namun bau badan yang menempal dari tadi malam
terus mengganggu gerak tubuh. Kini giliranku tiba setelah mengantri yang cukup
lama, dengan bebarapa alat mandi yang terbatas aku pun bergegas memasuki kamar
mandi tersebut. Setelah mandi, badan pun terasa enteng. Mungkin karena airnya
langsung terjun dari pegunungan atau mungkin saja karena daki yang menempel di badan
sudah hilang.
Waktu menunjukkan setengah
delapan pagi, hujan gerimis di luar rumah terus menghalangi perjalanan kami,
rasa kecewa pasti ada, sepertinya kota sibolga enggan dinikmati oleh kami. Yang
bisa dilakukan adalah duduk manis di dalam rumah sambil mendengarkan cerita
menarik dari sang tuan rumah. Sang tuan rumah, dalam hal memehuhi kebutuhan
sehari-hari anak dan isteri, ia harus melakukan perjalanan sekitar 6 jam
perjalanan menuju tempat dimana ia berbisnis. Karena sudah menjadi kebiasaan
sehingga ia merasa bahwa perjalanan selama itu dianggap enteng. Badannya tegap
namun tidak terlalu tinggi, sambil mengisap rokok favoritnya ia menyambung
ceritan tentang keramahaan lingkungan sekitar. Masyarakat setempat sangatlah
ramah dan terbuka. Masyarkatnya penuh sapa dan canda, tak suka mengusik apalagi
merusak. Kemudian, masalah keamanan tak perlu diragukan lagi, buktinya
kendaraan kami yang terparkir di halaman rumah sangatlah terjaga.
Gerimis masih saja mengguyur,
namun kali ini ia tidak bisa menghalangi rasa lapar kami. Atas petunjuk tuan
rumah, kami pun bergegas menuju warung tersebut. Warungnya sederhana, tak
banyak pilihan jenis makanan yang tertata di atas meja. Hanya ada satu jenis
yaitu Lontong. Jelas saja makanan ini tidak asing bagi kami, dan pastinya dapat
mengisi ruang perut yang kosong. Warga sekitar berbondonng-bondong dan rela
mengantri bersama kami guna mencicipi masakan lontong sang pemilik warung.
Harganya ya sedang-sedang saja. Sekitar Rp60.000 untuk 7 orang, tanpa diskon.
Gerimis berhenti, waktunya untuk
pergi, tujuan wisata pertama adalah kota Barus, seperti apakah Barus itu, tanya
dalam hati. Rasa penasaran dalam hati menyemangati perjalanan ini. Menurut
informasi yang diberikan oleh tuan rumah bahwa menuju kota tersebut memakan
waktu sekitar satu jam tigapuluh menit. Setelah meminta izin, kami pun
berangkat. Sepanjang jalan ada beberapa hal yang menarik, terutama lampu
jalanan yang terbuat dari bambu yang didirikan oleh masyarakat sekitar, bambu
itu dihiasi lampu-lampu kecil yang membentuk lingkaran. Pastinya ini sangat
membantu untuk para pengguna jalan di malam hari.
Sempat berhenti sejenak,
gara-gara hujan deras. Perjalanan kemudian dilanjutkan melalui tengah kota
Sibolga, kotanya kecil tapi bersih. Banyak sekali tugu yang menghiasi kota
tersebut, tugu ikan mislanya. Tugu lainnya bertuliskan “SAIYO SAKATO” merupakan
motto kehidupan bersama di Kota sibolga. Aku melihat teman-teman menikmati
perjalanan di pagi cerah itu, beberapa orang mengabadikan kejadian unik
sepanjang jalan. Kondisi jalan beraspal mulus, rumah-rumah warga begitu padat.
Di sebelah kiri terdapat pantai-pantai kecil dan persawahan padi.
Perjalanan menuju barus tidak
semulus yang kami bayangkan, kami berhenti tiba-tiba ketika dua orang pemuda
lawan jenis jatuh dari kendaraannya dan masuk ke dalam parit. Warga sekitar
mengenal kedua pemuda tersebut dan melarikannya untuk mendapatakn perobatan. Seketika
itu pula hujan lagi-lagi mengguyur tanah bumi pertiwi. Untung saja di
sebelahnya terdapat warung yang cukup luas untuk menampung kami. Tak sabar
menunggu, akhirnya kami pun terus melanjutkan perjalanan. Semuanya basah kuyup
terkecuali rambut yang tertutup oleh helm. Perjalanan semakin asyik ketika kami
sadar bahwa kami kesasar sejauh satu kilometer.
Sesampainya di tempat. Hujan
tetap mengikuti. Ternyata barus adalah tempat pemakaman seorang ulama yang berjasa
dalam menyebarkan ajaran agama islam di tanah sumatera. Uniknya untuk mencapai
makam tersebut pengunjung harus mendaki hampir satu KM ke atas puncak melalui
hampir seribu anak tangga. Setelah membayar yang disebut dengan tiket masuk
sebesar dua ribu rupiah per orang, dan kami pun mendaki. Ribuan pengunjung saat
itu bersemangat untuk mencapai makam tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah
kalangan orang tua, tapi tidak sedikit juga anak muda dan anak-anak bahkan ada
juga seorang kakek yang harus dituntun naik keatas.
Memang tidak gampang naik ke
atas, ditambah lagi gerimis membuat para pengunjung melepas alas kakinya dan
beristrahat ditengah jalan guna mengumpulkan energy dan mengatur nafas. Aku
mencoba menghitung anak tangga, tapi sayangnya aku lupa karena kurang fokus,
begitu juga dengan teman yang di sampingku. Seorang anak kecil dengan semangat
mendahuluiku, akupun mengejarnya dan ternnyata aku tertinggal jauh. Aku pun
berhenti dan menemui teman-teman rombongan yang menunggu kedatangan kami.
Singkat cerita, akhirnya aku dan teman-teman sampai di makam tersebut.
Orang sekitar mengambil tindakna
layaknya penziarah, meski gerimis mereka tetap khusu’ membacakan surah yasin
beserta doa-doanya. Begitu padat dan ramai pengunjung diatas, aku pun
menyempatkan diri untuk mencari tahu informasi lebih jauh tentang keberadaan
makam tersebut. Setelah bertanya ke salah satu pengunjung yang mengaku sudah
dua kali berziarah kesini. Aku mendapatkan sedikit kesimpulan, yakni ada tiga
hal yang unik atau bisa dikatakan ajaib. Pertama adalah ukuran panjang makam. Katanya “jika
kita mengukur makam tersebut, kemudian diukur oleh teman kita, maka hasil
ukuran makam tersebut tidak akan sama, misalnya si A mendapat hasil 7 meter
sedangkan si B mendapat hasil 8 meter”
(pada saat itu, aku dan teman2 tidak melakukan itu). Kedua adalah tali yang diikat di pohon. Katanya lagi
“tali yang diikat di pohon ini artinya
adalah ketika permintaan/doa kita telah dikabulkan, kita berjanji akan datang
kesini dan menjemput tali ini kembali”. Ketiga adalah sumur. Katanya “ada 2 buah
sumur kecil berada di sekitar makam tidak pernah kering, namun sekarang
sumurnya sudah kering, ia juga tidak tahu apa penyebabnya”.
Sebelum meninggalkan makam, aku
dan teman-teman menyempatkan berdoa sejenak di depan makam tersebut. Kemudian,
mengabadikan momen-momen penting di sekitar makam. Sebab, dari puncak ini akan
terlihat pemandangan kota sibolga nan indah. Laut biru yang terbentang menyejukkan
hati, hamparan padi menenangkan pikiran, serta pepohonan pegunungan
menghilangkan semua lelah di badan. Sesampai di bawah, ternyat ada kegaduhan
sedikit antar pemilik proyek parker dan proyek tike masuk, tapi sayangnya kami
tidak mengerti betul bahasa mereka dan meninggalkannya.
Hari mulai cerah, lembab di badan
mulai meleleh. Tempat wisata selanjutnya adalah pantai kedai tiga, tak jauh dari
makam tersebut. Angin pantai langsung
menyambut kedatangan kami. Teman-teman kemudian berlari menghampiri pinggir
pantai, begitu banyak ekpresi yang terjadi, sedangkan aku memilih untuk
berteriak sekencang-kencangnya, melepaskan kerinduanku terhadap suara ombak dan
hangatnya sentuhan angin pantai. Senang,
gembira, itulah yang kami rasakan bersama, tiga diantara kami langsung
mencelupkan badannya ke dalam asinnya laut, yg lain asyik berfoto, dan aku
sendiri duduk menyendiri di atas perahu yang terdampar di pinggir pantai.
Perlahan lahan angin pantai menyentuh lembut wajah ku, terus menerus ia
melakukannya sampai pada bagian yang terkecil, hingga badanku terasa berat
akibat pelukannya yang erat. Seakan ia tahu banyak hal tentang masalah apa yang
sedang aku hadapi, lalu ia membujukku untuk bercerita. Dengan malu aku
mengamini permintaannya, sebagai pendengar ia melakukannya dengan tenang sampai
akhir cerita. Sebagai penutup aku berbisik tentang perasaanku kepada seseorang
dan memohon agar menyampaikannya tanpa mengurangi dan menambahi satu huruf pun,
sebab aku tahu ia adalah makhluk tuhan yang Jujur dan Amanah. Mendengar
permintaanku, ia pun pergi dengan pesan yang kutitipkan, kami pun meninggalkan
pantai kedai tiga.
Pastinya pantai ini akan menjadi
tempat yang selalu dirindukan. Terdengar suara adzan magrib kami pun beristirahat
sebentar. Kemudian berdiskusi mengenai tempat penginapan malam hari nanti. Kebanyakan
dari teman-teman memilih untuk tidur di pinggir pantai. Sesampainya di pantai
yang disepakati yaitu pantai Kahona, seorang ibu menawarkan tikar sebagai alas
tidur seharga 30.000 ribu/buah, lalu menawarkan makan ikan bakar dengan harga seratus
ribu /kilo. Lagi-lagi kami berdiskusi, dan akhirnya kami pun memesannya. Sambil
menunggu di atas tikar yang baru saja disewa, kebanyakan dari teman-teman mengambil
posisi tidur, namun tidak lama curah hujan memaksa kami untuk bangun guna menghindar
darinya. Curah hujan begitu deras, ia tak segan mencium baju serta celana yang
bertengger di badan. Namun, semua itu dihiraukan ketika ikan bakar terhidang di
depan kami. Tak pikir panjang makhluk malang itu langsung dicubiti oleh penggemarnya.
Ajeeeeeb, kata yang pas untuk mewakili semua rasa ikan tersebut atau biasa disebut
maknyos bre. Sehabis makan, tidur menjadi pilihan utama. Posisi berbaris
menyamping dan berhimpitan tak terelakkan lagi, gerimis tak mau berhenti, Semua
teman pasrah diri, menyambut sang mentari esok hari.
No comments:
Post a Comment