PENGHUJUNG
Malam yang terang, dan begitu
tenang, waktu yang tepat untuk mengenang dosa-dosa masa lalu, mengingat
kejadian kemaren, memikirkan kedua orangtua yang jauh disana, merelakan
kepergian kekasih yang baru lari kawin sampe Surabaya. Namun, bukan waktunya untuk
itu, malam ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memperbaiki revisian
skripsi yang kucuekkan beberapa hari ini akibat adanya proyek kecil-kecilan
sebagai modal ngeprint skripsi. Duduk sendirian di depan Komputer, tak ada
pilihan musik selain musik qosidah, untung saja aku lulusan pondok pesantren 5
tahun lalu, sehingga tidak asing lagi mendengarnya. Masih jelas dalam ingatanku
lagu ini “sepohon kayu……” kunyanyikan di depan ratusan siswa saat muhadoroh
pada malam minggu. Tidak banyak yang meneriakkan kata “turun”, tapi setengah
audience hampir meneriakkannya.
Ingatan ini membangkitkan
semangat ku membuka kembali skripsi yang berwarna kuning itu. Coretan dosen
tersebut menyaingi tulisan seorang dokter, ditambah lagi tanda panah yang berceceran
di setiap halaman, tiba2 tanda panah pada halaman 121, ada 3 arah mataangin,
yang pertama mengarah ke halaman sebelumnya, yang kedua mengarah ke atas, dan
yang ketiga mengarah ke bawah dan diberi tanda silang di depannya. Sungguh carut
marut, tapi Satu persatu harus diselesaikan mala mini juga, meski mata mulai
memerah dan berair, tapi tak mampu membendung niat untuk menyelesaikannya. mengingat
dosen pembimbing akan berangkat esok hari ke Semarang dari kampus sekitar pukul
delapan pagi.
Kumandang azan subuh terdengar
lepas. Sahut menyahut antar masjid satu ke masjid lain. Namun teman-teman yang
masih tidur keliatannya sombong sekali tak menghiraukan panggilan tersebut.
Perbaikan skripsiku hampir sampai penghujung jalan. Kulangkahkan kaki menuju
kamar mandi dan bersiap melaksanakan solat subuh, doa yang sama selalu kupanjatkan
agar dapat wisuda di bulan Januari ini supaya kedua orangtuaku bahagia melihat
anaknya setelah lima tahun setengah akhirnya diwisuda juga.
Setelah merapihkan segala
sesuatunya, aku pun berangkat menuju kampus, masih gelap, ya memang masih
gelap, tapi lebih baik menanti berjam-jam dari pada kehilangan tandatangan
mahal dari dosen pembimbing. Satpam kampus pun bingung melihat kedatanganku,
aku hanya diam, tersenyum dan langsung menuju fakultas. Tepat di depan lift
kampus ada sebuah bangku mini berwarna hijau, aku pun duduk di atas bahunya.
Suasananya hening, setiap kali aku mendengar suara tak jelas, langsung saja
kalimat istigfar keluar dari mulut. Kejadian itu sampai tiga kali bertubi-tubi.
Tiba-tiba suara tapak sepatu terdengar melaju kencang mengarah fakultas,
ternyata ia seorang satpam yang lagi kebelet, sekali lagi aku harus mengelus
dada.
Hari mulai cerah, mahasiswa mulai
berdatangan, aku memandangi banyak wajah yang baru dengan semangat baru. Meski
begitu mereka ramah menyapaku, sebagian dari mereka sempat menyalamiku,
ternyata ketenaranku masih melekat di kepala mereka. Kedua mataku mulai cerah saat
melihat mahasiswi- mahasiswi cantik dengan dandan yang aduhai, kemudian mataku
semakin cerah ketika melihat dosen pembimbingku datang dengan barang bawaannya.
Aku pun langsung menghampirinya, dan mengutarakan niatku meminta
tandatangannya, namun tak ada jawaban, aku mengikuti langkahnya dengan seksama,
aku pun menawarkan diri untuk membawa barangnya, itu juga tak ada jawaban,
sesampainya di depan pintu ruangannya, ia pun langsung memasukinya tanpa
kata-kata. Aku tak kuasa menahan rasa sakit karena dicuekin terus, kursi yang berada
di depan ruanganya menjadi sasaran lampiasanku, dan aku tak sadar kursi itu
terbuat dari kayu. Aku pun merengek kesakitan. Namun, aku tetap setia menunggunya
keluar ruangan meski ada rasa sakit di hati dan di kaki.
(bersambung)
Semangat Mr.Adnan :) succes for you
ReplyDelete