Setelah peperangan itu, tuban menjdai sepi, sunyi dan
senyapm tidak banyak aktivitas di pelabuhan, kapal-kapal yang berlayar pun tak
kunjung keliatan. Kapal milik tuban pun hanya di ikat begitu saja tanpa
pengawalan yang ketat, sebab kapal itu juga sudah tidak berfungsi lagi
semestinya, jika seandainya kapal peranaggi datang dan melemparkan meriamnya
pelabuhan tuban akan menjadi bubur tanpa perlawanan, prajurit kappal juga tak bisa berbuat apa-apa
mengingat kapal yang mereka miliki sudah lumpuh. Lain lagi halnya para janda tua yang menjdi
pelacur juga meninggalkan gubuk-gubuk mereka yang ada di pinggir pelabuhan
seakan rejeki tidak sudi lagi dataang ke Bandar ini.
Begitu juga daratan, suara angin berlalu begitu saja, tidak
ada kesegaran di sana, mayat sang senapati yang di bunuh wira pun masih
terkapar di bawah pohon itu, tidak ada yang berani mengurusnya, bahkan
kerabatnya sendiri, mayat itu mengeluarkan bau yang sangat, hewan-hewan
berterbangan mengelilingi tubuh malang itu. para masyakat pun rela melewati
jalan belakang dibanding melewati mayat ini.
Hal yang sama dirasakan oleh kadipaten, sang adipati duduk
termenung, mengingat-ingat kejadian yang telah terjadi, mencoba membuka
teka-teki kehidupan kadipaten, ia tahu bahwa senapati di bunuh wira dibawah
pohon, tapi tidak ada penghadap yang berani melerainya bahkan mengikuti
perintahnya. Pikiran lain bahwa ia merasa dirinya tidak ada arti kekuasaan
lagi, masyarkat sudah merantau ke tempat yang mereka ingini, begitu juga
prajuritnya, sebagian diungsikan oleh wira ke gresik, tidak ada lagi keramaian di
sampingya, tidak ada lagi yang melayani nya, persembahan dari desa pun sudah
tidak ada lagi hingga bencama kelaparan akan menyiksanya, seakan ia tidak mampu
berbuat apa-apa hanya tuan syahbandar tuban yang menemaninya di kadipaten,
Syahbandar tuban masih saja memengaruhi sang adipati agar adipati
mengambil tindakan atas sikap yagn dilakukan oleh wira terhadap senapati,
seharusnya ia mendapatkan hukuman yang setimpal, sang adipati pun termenung, kl seandainya wira menjadi penghianat
maka ia akan mati sebagai seorang ksatria, dan ia juga akan mengikuti langkah
Gajah Mada dan Ken Arok, yaitu orang desa yang bisa menjadi raja salah satu kerajaan,
mereka sama sekali bukan keturunan nigrat, tapi mereka bisa, dan apakah wira
akan menjadi seperti mereka berdua? . itu hanya pertanyaan kehawatiran saja. Langsung
ia mendebat tuan syahbandar tuban bahwa bukan dikarenakan para penghadap
diamasuki setan sehingga mereka tidak bisa melawan wira, tetapi dalam roh wira
ini sudah di bekali oleh para dewa.
Kadipaten itu pun sepi setelah perdebatan itu usai, masyarakat
yang sering meliat tentara yang tidak memakai baju ke prajuritan yang lengkap
meondar-mandir di daratan,
Di kesahbandaran bahkan lebih sepi lagi, sudah tidak banyak
lagi yang melompati pagar untuk mengintip keindahan tubuh idayu (isteri wira)
sebab idayu pun pulang bersama nyi gede kati, masyrakatpun mendoakan keselamatan
anak ketika lahir dan bertepatan dengan kematian ayahnya, entah kenapa mereka
sekarang menjadi musuh wira, kematian senapati tidak harus di tangan wira,
kematian senapati tidak harus di tikam oleh wira, kenapa wira yang harus
membunuh senapati. Memori mereka pun kembali tentang kebahagiaan wira dan idayu
ketika mereka berdua digotong masyarakat pada hari pernikahan itu.
Kemudian Bandar menjadi sepi lagi.....