Pages

Tuesday 4 February 2014


PENGHUJUNG

Malam yang terang, dan begitu tenang, waktu yang tepat untuk mengenang dosa-dosa masa lalu, mengingat kejadian kemaren, memikirkan kedua orangtua yang jauh disana, merelakan kepergian kekasih yang baru lari kawin sampe Surabaya. Namun, bukan waktunya untuk itu, malam ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memperbaiki revisian skripsi yang kucuekkan beberapa hari ini akibat adanya proyek kecil-kecilan sebagai modal ngeprint skripsi. Duduk sendirian di depan Komputer, tak ada pilihan musik selain musik qosidah, untung saja aku lulusan pondok pesantren 5 tahun lalu, sehingga tidak asing lagi mendengarnya. Masih jelas dalam ingatanku lagu ini “sepohon kayu……” kunyanyikan di depan ratusan siswa saat muhadoroh pada malam minggu. Tidak banyak yang meneriakkan kata “turun”, tapi setengah audience hampir meneriakkannya.

Ingatan ini membangkitkan semangat ku membuka kembali skripsi yang berwarna kuning itu. Coretan dosen tersebut menyaingi tulisan seorang dokter, ditambah lagi tanda panah yang berceceran di setiap halaman, tiba2 tanda panah pada halaman 121, ada 3 arah mataangin, yang pertama mengarah ke halaman sebelumnya, yang kedua mengarah ke atas, dan yang ketiga mengarah ke bawah dan diberi tanda silang di depannya. Sungguh carut marut, tapi Satu persatu harus diselesaikan mala mini juga, meski mata mulai memerah dan berair, tapi tak mampu membendung niat untuk menyelesaikannya. mengingat dosen pembimbing akan berangkat esok hari ke Semarang dari kampus sekitar pukul delapan pagi.

Kumandang azan subuh terdengar lepas. Sahut menyahut antar masjid satu ke masjid lain. Namun teman-teman yang masih tidur keliatannya sombong sekali tak menghiraukan panggilan tersebut. Perbaikan skripsiku hampir sampai penghujung jalan. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi dan bersiap melaksanakan solat subuh, doa yang sama selalu kupanjatkan agar dapat wisuda di bulan Januari ini supaya kedua orangtuaku bahagia melihat anaknya setelah lima tahun setengah akhirnya diwisuda juga.

Setelah merapihkan segala sesuatunya, aku pun berangkat menuju kampus, masih gelap, ya memang masih gelap, tapi lebih baik menanti berjam-jam dari pada kehilangan tandatangan mahal dari dosen pembimbing. Satpam kampus pun bingung melihat kedatanganku, aku hanya diam, tersenyum dan langsung menuju fakultas. Tepat di depan lift kampus ada sebuah bangku mini berwarna hijau, aku pun duduk di atas bahunya. Suasananya hening, setiap kali aku mendengar suara tak jelas, langsung saja kalimat istigfar keluar dari mulut. Kejadian itu sampai tiga kali bertubi-tubi. Tiba-tiba suara tapak sepatu terdengar melaju kencang mengarah fakultas, ternyata ia seorang satpam yang lagi kebelet, sekali lagi aku harus mengelus dada.

Hari mulai cerah, mahasiswa mulai berdatangan, aku memandangi banyak wajah yang baru dengan semangat baru. Meski begitu mereka ramah menyapaku, sebagian dari mereka sempat menyalamiku, ternyata ketenaranku masih melekat di kepala mereka. Kedua mataku mulai cerah saat melihat mahasiswi- mahasiswi cantik dengan dandan yang aduhai, kemudian mataku semakin cerah ketika melihat dosen pembimbingku datang dengan barang bawaannya. Aku pun langsung menghampirinya, dan mengutarakan niatku meminta tandatangannya, namun tak ada jawaban, aku mengikuti langkahnya dengan seksama, aku pun menawarkan diri untuk membawa barangnya, itu juga tak ada jawaban, sesampainya di depan pintu ruangannya, ia pun langsung memasukinya tanpa kata-kata. Aku tak kuasa menahan rasa sakit karena dicuekin terus, kursi yang berada di depan ruanganya menjadi sasaran lampiasanku, dan aku tak sadar kursi itu terbuat dari kayu. Aku pun merengek kesakitan. Namun, aku tetap setia menunggunya keluar ruangan meski ada rasa sakit di hati dan di kaki.

(bersambung)

 

Blogger news

Blogroll

About